HUKUM
Meskipun fakta mengatakan sejauh ini kondisi penegakan hukum di negara hukum Indonesia masih ironis dan memilukan, karena masih banyak praktek jual beli keadilan oleh oknum-oknum amoral aparat penegak hukum atau yang dulu terkenal dengan sebutan mafia peradilan atau yang oleh Presiden RI ke VI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono disebut dengan mafia hukum, tetapi yang pasti bagaimanapun dalam suatu negara hukum yang demokratis, hukum harus tetap menjadi panglima dalam kehidupan bernegara, karena tanpa hukum keadaan masyarakat pasti akan chaos maka masih sangat relevan peringatan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (101 – 143 SM) : “flat justitia ruat caelum” (“tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh”).
Bukti diindahkannya adagium tersebut adalah, dewasa ini Indonesia selain memiliki lembaga peradilan konvensional seperti peradilan pidana dan perdata, tetapi juga sudah pula memiliki lembaga peradilan moderat yaitu lembaga peradilan khusus antara lain seperti Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak, Pengadilan Hubungan Industrial. Bahkan diranah ketatanegaraan, dewasa ini Indonesia sudah memiliki Mahkamah Konstitusi.
Seperti halnya salah satu tanda majunya perekonomian disuatu daerah dapat dilihat dari banyaknya kehadiran lembaga perbankan di daerah itu, demikianlah salah satu tanda majunya negara hukum dapat dilihat dari banyaknya kehadiran lembaga peradilan yang tidak lagi bersifat umum, tetapi sudah bersifat khusus dan moderat sebagaimana di uraikan diatas, karena lembaga-lembaga peradilan konvensional tidak memadai lagi untuk diharapkan memberi keadilan pada bidang kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, moderen dan legal minded.
PENEGAKAN HUKUM
Semakin maju pendidikan dan ekonomi masyarakat, semakin sadarlah masyarakat akan hak hukumnya, baik hak asasinya sebagai manusia (human right) maupun hak atas harta benda & kekayaannya (property right). Dewasa ini kebanyakan masyarakat janganpun terhadap sesama warga, terhadap pemerintahpun jika merasa haknya dirugikan sudah tidak takut lagi mengatakan “saya akan tuntut kamu” atau “kita ketemu di meja hijau”. Jika ada warga masyarakat yang merasa dirugikan haknya oleh keputusan pemerintah yang dianggap melawan hukum, ia akan menuntut di PTUN, jika ia merasa dirugikan oleh ketetapan pajak fiskus, ia akan banding ke Pengadilan Pajak dst.
Memang jika penegakan hukum tidak semakin kuat dan maju, maka berbahayalah praktek politik praktis dan ekonomi, karena dapat dipastikan dalam praktek politik praktis masyarakat akan mempraktekkan politik Machiavelli yaitu praktek politik yang amoral dengan demikian berarti mendorong masyarakat kembali kejaman jahiliah sehingga akan terjadi seperti yang dikatakan Plautus sebagaimana dikutip Thomas Hobes “homo homini lupus”, (“manusia menjadi serigala bagi sesamanya”), dan dalam praktek ekonomi akan menerapkan ekonomi liberalis yang berpotensi menimbulkan distorsi pada keadilan sosial sebagai akibat hegemoni kaum kapitalis kepada kaum buruh. Dengan demikian pada intinya tanpa penegakan hukum yang kuat berarti semakin gampang “orang makan orang”. Maka, ijinkan saya menggaungkan sabda Allah ini “Berbahagialah orang-orang yang berpegangan pada hukum, yang melakukan keadilan di segala waktu” (Mazmur 106:3).
PENGACARA
Pengacara sebagai salah satu dari empat elemen penegak hukum sebagaimana ditentukan undang-undang seharusnya ikut pro aktif memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan keadilan disegala waktu, dengan kredibilitas dan integritas yang tinggi. Walaupun jumlah Advokat dewasa ini sudah semakin meluber alias over supply tetapi sayangnya belum diimbangi dengan kualitas keahlian dan integritas moral yang meyakinkan. Kerusakan dalam penegakan hukum sering kali malah dilakukan oleh para penegak hukum sendiri sebagaimana terbukti dari masih banyaknya para aparatur penegak hukum (APH) yang terkena OTT KPK.
Oleh sebab itu maka dalam lingkungan pengacara sendiri juga perlu melakukan resolusi kultur untuk memperbaiki kualitas integritas moralnya dalam menjalankan profesinya sebagai officium nobile dan perbaikan kualitas kompetensinya melalui jalur pendidikan vokasi hukum yang moderat dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma dan pola pikir para Pengacara dari paradigma statis konservatif yang tercermin dari cara pemahaman hukum yang melihat hukum tidak sekedar harafiah dan hitam putih belaka melainkan dengan pendekatan yang lebih holistik dalam tiga dimensi : tekstual, konstektual dan filosofial dari pasal-pasal dan ayat-ayat Undang-Undang secara lebih dinamis dan rasional. Dengan kata lain pendekatan kreatif progresif akan membawa seorang Pengacara berani melakukan pendekatan terobosan yang cerdas alias pendekatan out of the box, apalagi zaman now ini dimana dunia umum dan Indonesia pada khususnya sudah mulai masuk ke dalam era disruption of legal industry akibat dari perkembangan informasi teknologi (IT) dan industri 4.0 dimana dalam era ini banyak profesi akan punah termasuk Lawyer karena digerus oleh kehadiran robot. Sebagai contoh sekarang jika seseorang memerlukan informasi tentang suatu peraturan perundang-undangan tidak usah lagi harus datang ke Lawyer cukup cari di internet dan selesai. Demikian juga bila seseorang memerlukan contoh-contoh draft perjanjian bisnis dan atau perjanjian umum lainnya, cukup klik google selesai. Oleh karena itu banyak para Lawyer yang nganggur seperti sindiran atas kependekan kata “pengacara” yang diartikan sebagai “pengangguran banyak acara” karena sekali lagi tergerus oleh teknologi tadi. Alhamdulillah, Puji Tuhan Boutros & Co sudah mempelopori tidak berhenti pada paradigma statis konservatif, tetapi dalam eksistensi dan keaktifan karirnya mengikuti paradigma kreatif progresif, satu dan lain demi kepuasan klien.
Tinggalkan Balasan