Sumber : https://nasional.kontan.co.id/news/ambang-batas-diturunkan-pemerintah-sasar-lebih-banyak-umkm-kena-pajak
Ambang batas omzet umkm yg dulu 4,8 m akan diturunkan jadi 3,6 m karena pemerintah ingin menyasar pajak pada lebih banyak umkm. Tarif pajak umkm selama ini 0.5% final (dgn catatan ada batas waktu: umkm PT 3 tahun, umkm badan selain PT 5 tahun, umkm OP 7 tahun pajak terhitung sejak terdaftar sbg WP. DH: PP 23/2018 jo. 55/2022). Jadi batas waktu tarif 0.5% tsb per 2024 sudah mulai berakhir dan untuk tahun pajak 2025 umkm akan terkena tarif PPh normal berdasar tarif ps.17 UU PPh. Lalu apa implikasi kebijakan penurunan ambang batas omzet diatas bagi umkm?. Pertama tama akan semakin banyak umkm yg terjerat pajak; Kedua memaksa umkm bersiasat: atau mempertahankan diri sebagai wp umkm walau omzetnya sudah diatas 3,6 m dgn strategi splitsing firm; atau bila omzetnya sudah diatas 3,6 m pindah status sbg wp besar dan sekaligus minta dikukuhkan sbg PKP dan pendekatan perhitungan utang pajaknya dilakukan berdasarkan pembukuan bukan berdasarkan omzet dengan tarif final sehingga bisa memakeup laba rugi. Jika siasat kedua yang dipilih ybs bisa menekan pajak dengan pendekatan tax planning/tax loophole yang ketika masih membayar pajak berdasarkan tarif final hal ini hampir tidak mungkin bisa dilakukan karena pengawas/pemeriksa pajak mudah menditeksi. Ketiga kebijakan fiskal ini mengharuskan pemerintah mengubah UU PPh lebih dulu karena ketentuan ambang batas omzet itu diatur UU PPh. Perubahan UU akan memiliki implikasi ikutan yang serius a.l. pada tuntutan penurunan tarif dan kemungkinan judicial review. Pertanyaan lain adalah apakah dengan penurunan ambang batas tsb berdampak pada peningkatan tax base mencapai ke 80 juta wp dan kemudian juga pada tax ratio ke 16% seperti ambisi Prabowo? Jawabannya tidak serta merta karena peningkatan tax base lebih disebabkan pengaruh iklim dan kondisi kondusif ekonomi nasional dan global daripada sekedar penurunan ambang batas omzet umkm. Walau ambang batas omzet diturunkan bisa saja tax base tidak meningkat sehingga masih berkutat di sekitar 40 jt wp jadi jumlahnya tetap hanya saja lebih banyak umkm yang bisa diinjak pajak apalagi bila dikaitkan dengan sudah mulai dipakainya sistem coretax dalam penghimpunan data base pajak wp. Sementara peningkatan tax ratio lebih banyak didasarkan pada produktifitas SDA oleh pemerintah dan masyarakat produktif. Pemerintahan Presiden Prabowo bagaimanapun akan mengandalkan pemasukan pajak untuk pembiayaan program programnya, maka dia sangat berkepentingan dengan peningkatan pemasukan pajak karena itu bagaimanapun kenaikan PPN 12% tetap akan diberlakukan pada Januari 2025 meski dengan berbagai stimulus walau belum diketahui efektifitasnya. Maka harus ada solusi mengatasi beban biaya selain dari pajak dan utang, yaitu hilirisasi, penciptaan kondisi ekonomi yang kondusif untuk peningkatan investasi dari dalam dan luar negeri, peningkatan ekspor kepasar global plus penyetopan besar besaran thd korupsi dan begal pajak yang makan 30% APBN melalui penegakan hukum yang keras dan kejam. Untuk itu mestinya tidak relevan lagi diprolegnaskan RUU pengampunan pajak karena program ini hanya menguntungkan para the have nakal yang selama ini sembunyikan uangnya diluar negeri. Melalui AEOI dan tax treaty bilateral plus perjanjian legal assistent pemerintah memang bisa melacak jumlah uang para the have Indonesia diluar negeri tetapi walau begitu tidak bisa memaksa mereka merepatriasi uangnya ke Indonesia karena dari program tax amnesty pertama 2016 maupun PPS 2022 upaya itu terbukti gagal total. Berdasarkan uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal pemerintah memaksa para wp baik op maupun badan kelas menengah bawah kudu lebih canggih dan cerdas dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (tax compliance) nya sebab tekanan dan ancaman penegakan hukum pajak yang keras dan kejam akan lebih menyasar mereka daripada wp the have yang dengan segala kecanggihannya bisa sembunyikan uang dan asetnya keluar negeri ke negara negara surga pajak, sehingga mereka tetap aman. Maka dalam pajakpun hukum tetap tajam kebawah dan tumpul keatas. Kalau begitu duduk soalnya, wp bijak sudah harus menggandeng pengacara pajak jika tidak mai terhunus tajamnya pedang pajak. Kebutuhan ini saya beritahukan tidak berdasarkan opini subyektif semata tetapi berdasarkan pengalaman empiris puluhan tahun sebagai Pengacara Pajak. Jakarta, Minggu, 22 Desember 2024, Petrus Loyani, Managing Partner Tax Lawyer Office Boutros & Co.
Tinggalkan Balasan